Suatu hari di sebuah perusahaan swasta yang berkantor di bilangan Kuningan…
“Bro ada apa Bro, kok kayaknya lu pucat pasi gitu?”
“Kacau Bro, Kacau… manager gue resign. Bubar deh team kita, bubar!”
“Lha, kok bisa?”
“Bos gue, Boni, dia lebih memilih resign daripada WFO! Padahal dia sudah settle banget, sudah 3 tahun di middle management.
“Dan dia resign-nya mendadak pula. Nyaris nggak pakai 1-month notice. Udah gila kali ya dia…”
“Macem-macem ya orang, nggak tau bersyukur kali ya, udah hari gini dikira ketemu kantor baru gampang kali ya, belum tau aja kali dia….”
“Iya, malah bos gue Candra, dia justru lebih milih resign daripada team dia WFH ataupun hybrid. Kata dia, team yang WFH nggak efektif!”
. . .
Sejak Januari 2020 terjadi banyak perubahan tatacara dan paradigma dalam bekerja dan hidup perkantoran. Tapi perubahan ini tidak serta-merta terjadi begitu saja. Perkembangan teknologi Internet mempercepat ritme bisnis, tapi bukan itu saja, dia juga membuka berbagai kemungkinan remote working.
Memang telecommuting masih jauh dari sempurna, bahkan di sekarang ini ketika kecepatan internet 2 Megabyte per detik bisa dianggap “agak pelan”. Tapi dibanding hanya 10 tahun yang lalu kecepatan data sebesar ini sebenarnya sudah luar biasa. Walau demikian, hingga hari-hari terakhir menjelang meledaknya pandemi Covid-19, perusahaan-perusahaan masih sangat enggan mencoba menerapkan remote working.
Lantas tiba-tiba, dikata istilahnya, “Negara Api Menyerang”.
Antara WFO dan WFH
Banyak perusahaan merasa banyak karyawan saat ini terlalu manja, tidak bisa disenangkan, tidak setia, dan mudah lompat-lompat tempat kerja. Sebaliknya banyak karyawan memandang semua perusahaan sudah terlalu mudah memecat & melepas karyawan; dan masa pensiun sudah tidak lagi dapat diharapkan, dan tidak lebih dari “mimpi masa lalu” yang tak mungkin diraih lagi.
Pertanyaan bagi business owner: Is it worth it, untuk mengekang pekerja seketat itu? Dibanding dengan outcome yang dihasilkan?
Work From Home (WFH) memberikan lebih banyak peluang dan fleksibilitas bagi karyawan untuk mengejar proyek proyek pribadi yang memberikan refreshing moment di dalam pekerjaan sehari hari. WFH juga memberikan kesempatan bagi karyawan untuk mencari kondisi kerja yang tidak monoton di cafe misalnya.
Perbedaan pandangan antar generasi
Suka tidak suka terdapat perbedaan pengalaman hidup antar generasi, dan ini menyebabkan perbedaan cara pandang hidup.
Baby Boomers kerja untuk survival,
Baby Boomers lahir di masa dunia baru saja pulih dari perang dunia ke 2, infrastruktur porak-poranda dan lapangan kerja sempit. Bisa mendapatkan pekerjaan saja sudah sangat beruntung. Sehingga Baby Boomers punya sikap untuk bertahan kerja selama puluhan tahun walaupun lingkungan kerja tidak nyaman dan atasan yang toxic. Semua agar bisa sekadar melanjutkan hidup.
Gen-X & Millennial kerja untuk Standard-of-Living,
Gen-X & Millennial hidup diatas pondasi yang dibangun oleh Baby Boomers, kebutuhan primer berupa sandang, pangan, dan papan sudah disediakan oleh Baby Boomers.
Gen-X & Millennial tidak sekedar melanjutkan hidup namun meningkatkan standar hidup. Gan-X & Millennial mulai berfikir mengenai pendidikan dan cara mendapatkan informasi dan komunikasi seperti internet dan hiburan. Gen-X & Millennial berdiri di atas pondasi Baby Boomer mampu menciptakan kualitas yang lebih baik untuk sandang, pangan, dan papan yang lebih baik dari Baby Boomer.
Gen-Z kerja untuk Quality-of-Living.
Gen-Z lahir di kondisi dimana wifi, ruangan ber-AC dan pendidikan adalah sebuah dasar (standard) bukan sebuah privilege. Gen-Z hidup untuk mengejar Kualitas kehidupan, topik-topik seperti mental health, wellbeing, work-life-balance sesuai passion adalah topik topik yang dikonsumsi setiap hari.
Perbedaan sudut pandang dan hal yang dikejar membuat hubungan kerja dan cara komunikasi antara Baby Boomers, Gen-X , Millennial dan Gen-Z jauh berbeda. Ketidakcocokan dalam proses untuk mencapai tujuan akhir akan membuat kerjasama lintas generasi ini menjadi semakin sulit.
Kemudian, perusahaan tidak lagi dipandang sebagai pemberi penghidupan, melainkan sebatas pemberi gaji. Sebaliknya karyawan sudah tidak lagi menumpukan kestabilan hidup pada kantor, kantor sudah tidak lagi dipandang sebagai penjamin karir maupun penyedia pensiun pasca-kerja. Dibutuhkan adjustment, saling menyesuaikan, dari kedua sisi menghadapi perubahan ini.
Co-Exist antara Company Goal dan Personal Goal
Perusahaan harus sadar, di mata banyak karyawan sekarang ini, perusahaan-perusahaan hanyalah mesin ATM sementara. Sebuah perhentian sementara dari sebuah perjalanan yang panjang. Sehingga peran organizational development yang ramah terhadap personal goal karyawan menjadi sangat penting. Perusahaan bersaing bukan hanya dengan struktur gaji di luar sana, tapi juga dengan personal goal para karyawan.
Konsep skill-sharing atau workforce-sharing tampaknya perlu dipertimbangkan oleh perusahaan. Dimana posesif 100% terhadap karyawan sudah tidak mungkin di-enforce dengan tegas. Konsep-konsep seperti intrapreneurship perlu juga dikembangkan dimana personal goal karyawan bisa terpenuhi di dalam perusahaan. Harus melihat kenyataan sekarang ini, baik karyawan maupun pengusaha, bahwa konsep kerja full 9-to-5 dari kantor, adalah salah satu paradigma yang tidak bisa tidak berubah. Faktor yang suka-nggak suka sudah berubah, sekarang ini.
Terkadang di sisi pemberi kerja sifat posesif adalah cerminan dari ketidakmampuan untuk menerapkan sistem kontrol dan monitoring KPI yang berorientasi pada result. Karena ketidakmampuan tersebutlah akhirnya pemberi kerja akan merasa jauh lebih aman bila karyawan WFO, walau mungkin efektifitas kerja dan full WFO secara riil hanya berkontribusi sedikit.
Solusi seperti penetapan KPI yang result oriented didampingi dengan kesepakatan dalam aturan aturan kehadiran virtual adalah jalan keluar yang baik.
Dibutuhkan komunikasi antar generasi yang efektif, agar tidak saling “menyelengkat” / “menjatuhkan”. Karena semua bisnis pada akhirnya membutuhkan partisipasi semua generasi.
(Terutama bisnis/usaha yang kosmopolitan / mass-market; kecuali sebuah bisnis yang hyper-niche, yang hanya benar-benar melayani secara khusus satu generasi dari satu lokasi yang sangat, sangat spesifik).
Harmoni antar generasi akan membentuk usaha dan perusahaan yang lebih Robust dan Survivable. Kolaborasi makin erat, motivasi makin tinggi, masa depan bersama makin cerah.
. . .
Bacaan lebih lanjut: